dghcgcjvjvgvjvjhgjhbjhggvfgcgfchfgjbhh

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 13 Juli 2017

Hukum Adat Belu


Latar belakang


Dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai macam suku bangsa. Kualitas hidup suku bangsa yang berbeda-beda, memungkinkan kita berpikir kritis, kreatif, dan produktif.

Sesuai dengan judul makalah ini,terkait dengan keanekaragaman kebudayaan yang terdapat di daerah saya baik ditinjau dari segi lokasi, kebudayaan, norma-norma serta nilai nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut.

Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai perkembangan jaman. Maka untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah WAWASAN KEBANGSAAN, saya dengan bangga dalam makalah ini mengangkat budaya Nusa Tenggara Timur Khususnya Kabupaten “BELU”. Yang memiliki empat suku budaya yakni SUKU TETUN, SUKU KEMAK, SUKU MARAE, DAN SUKU DAWAN, yang dalam aturan budaya adatnya memiliki kesamaan dan perbedaan,baik itu aturan dalam bersosialisasi maupun dalam lingkungan sendri.

Sejarah Singkat Hukum Adat


Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra Timur dari Belanda (1894). Sebelum istilah Hukum Adat berkembang, dulu dikenal istilah Adat Recht. Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun 1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers.




Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933.




Perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi mempergunakan istilah ini pada tahun 1929 dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang berlaku pada tahun 1929.




Dalam masyarakat Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah tersebut hanyalah istilah teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.




Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.




Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai lanjutan kesempuranaan hidup selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.




Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu tahun masehi.




[1][1]Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh yang bernama [2][2]Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630. Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.










Pengertian Istilah Adat




Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal dan menggunakan istilah tersebut.




Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai berikut :




“Tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh masyarakat luar dalam waktu yang lama”.




unsur-unsur terciptanya adat




1. Adanya tingkah laku seseorang




2. Dilakukan terus-menerus




3. Adanya dimensi waktu.




4. Diikuti oleh orang lain/ masyarakat.




Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.




Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan merupakan suatu kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban, cara hidup yang modern sesorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adat-istiadat yang hidup dan berakar dalam masyarakat.




Adat selalu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga adat itu tetap kekal, karena adat selalu menyesuaikan diri dengan kemajuan masyarakat dan kehendak zaman. Adat-istiadat yang hidup didalam masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat dan ini merupakan sumber pokok dari pada hukum adat.




Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo, mengatakan bahwa adat adalah tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan merupakan aturan hukum.
















Istilah Hukum Adat




Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van Nederland Indie”.




Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundangundangan Belanda.




Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adat recht untuk menggantikan hukum adata dengan alasan :




“ Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum adat pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang




luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan antara adat-istiadat (non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena keduanya erat sekali kaitannya.










Pengertian Hukum Adat




Apa hukum adat itu ?




Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita telaah beberapa pendapat sebagai berikut :




1. Prof. Mr. B. Terhaar Bzn




Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.




2. Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven




Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.




3. Dr. Sukanto, S.H.




Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum




4. Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.




Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan peraturan.




5. Prof. Dr. Hazairin




Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah kaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.




6. Soeroyo Wignyodipuro, S.H.




Hukum adat adalah suatu ompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum ( sanksi ).




8. Prof. Dr. Soepomo, S.H.




Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.




Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsur-unsur dari pada hukum adat sebagai berikut :




a) Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat.




b) Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis.




c) Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral.




d) Adanya keputusan kepala adat




e) Adanya sanksi/ akibat hukum




f) Tidak tertulis




g) Ditaati dalam masyarakat










Teori Reception In Complexu




Teori ini dikemukakan oleh Mr. LCW Van Der Berg.




Menurut teori Reception in Coplexu :




Kalau suatu masyarakat itu memeluk adama tertentu maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adlah hukum agama yang dipeluknya. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian.




Terhadap teori ini hampir semua sarjana memberikan tanggapan dan kritikan antara lain




Snouck Hurgronye :




Ia menentang dengan keras terhadap teori ini, dengan mengatakan bahwa tidak semua Hukum Agama diterima dalam hukum adat. Hukum agama hanya memberikan pengaruh pada kehidupan manusia yang sifatnya sangat pribadi yang erat kaitannya dengan kepercayaan dan hidup batin, bagian-bagian itu adalah hukum keluarga, hukum perkawinana, dan hukum waris.




Terhaar berpendapat :




Membantah pendapat Snouck Hurgrunye, menurut Terhaar hukum waris bukan berasal dari hukum agama, tapi merupakan hukum adat yang asli tidak dipengaruhi oleh hukum Islam, sedangkan hukum waris disesuaikan dengan struktur dan susunan masyarakat.




Teori Reception in Comlexu ini sebenarnya bertentangan dengan kenyataan dalam masyarakat, karena hukum adat terdiri atas hukum asli (Melayu Polenesia) dengan ditambah dari ketentuan-ketentuan dari hukum Agama demikian dikatakan oleh Van Vollen Hoven.




Memang diakui sulit mengdiskripsikan bidang-bidang hukum adat yang dipengaruhi oleh hukum agama hal ini disebabkan :




1. Bidang-bidang yang dipengaruhi oleh hukum agama sangat bervariasi dan tidak sama terhadap suatu masyarakat.




2. Tebal dan tipisnya bidang yang dipengaruhi hukum agama juga bervariasi.




3. Hukum adat ini bersifat lokal.




4. Dalam suatu masyarakat terdiri atas warga-warga masyarakat yang agamanya berlainan.










Perbandingan Antara Adat Dengan Hukum Adat




Perbedaan antara adat dengan hukum adat yaitu :




a) Dari Terhaar ;




Suatu adat akan menjadi hukum adat, apabila ada keputusan dari kepala adat dan apabila tidak ada keputusan maka itu tetap merupakan tingkah laku/ adat.




b) Van Vollen Hoven :




Suatu kebiasaan/ adat akan menjadi hukum adat, apabila kebiasaan itu diberi sanksi.




c) Van Dijk :




Perbedaan antara hukum adat dengan adat terletak pada sumber dan bentuknya. Hukum Adat bersumber dari alat-alat perlengkapan masyarakat dan tidak tertulis dan ada juga yang tertulis, sedangkan adat bersumber dari masyarakat sendiri dan tidak tertulis.




d) Pendapat L. Pospisil :




Untuk membedakan antara adat dengan hukm adat maka harus dilihat dari atribut-atribut hukumnya yaitu :




v Atribut authority, yaitu adanya keputusan dari penguasa masyarakat dan mereka yang berpengaruh dalam masyarakat.




v Intention of Universal Application :




Bahwa putusan-putusan kepala adat mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga dikemudian hari terhadap suatu peristiwa yang sama.




v Obligation (rumusan hak dan kewajiban) :




Yaitu dan rumusan hak-hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang masih hidup. Dan apabila salah satu pihak sudah meninggal dunia missal nenek moyangnya, maka hanyalah putusan yang merumuskan mengeani kewajiban saja yang bersifat keagamaan.




v Adanya sanksi/ imbalan :




Putusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi/imbalan yang berupa sanksi jasmani maupun sanksi rohani berupa rasa takut, rasa malu, rasa benci dn sebagainya.




v Adat/ kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum adat hanyalah sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum adat.




v Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkan adat tidak mempunyai nilai/ biasa.










Tujuan mempelajari hukum adat




A. Tujuan Teoritis




Tujuan Teoritis adalah untuk memelihara dan mengembangkan hukum adat sebagai ilmu dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia. Dalam piagam Adatrechtstichting (Yayasan Hukum Adat) antara lain disebutksan : Menjamin kekalnya penyelidikan ilmiah terhadap hukum pribumi Hindia Belanda dan bagian-bagian lain dari nusantara yang tidak terkodifikasi serta memajukan studi mengenai hukum tersebut secara kontinyu.




B. Tujuan Praktis




v Bagi Praktisi Hukum




Agar dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dapat mempertimbangkan dan menerapkan hukum yang sesuai dengan tuntutan keadilan masyarakat, khususnya dalam kasus-kasus yang berkenaan dengan adat. Dalam hubungan ini Ter Haar mengatakan bahwa setiap hakim yang harus mengambil keputusan menurut adat, haruslah menginsyafi sedalam-dalamnya tentang sistem hukum adat, kenyataan sosial serta tuntutan keadilan dan kemanusian untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik.




v Bagi pembentuk Undang Undang




Agar dalam pembentukan undang-undang atau peraturan perundang-undangan mempertimbangkan nilai-nilai hukum adat atau adat pada umumnya, sehingga perundang-undangan yang dihasilkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat yang menjadi subjeknya.




C. Tujuan idealis (Ilmu untuk masyarakat)




Menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan rasa suka, cinta dan bangga terhadap bangsa dan budaya sendiri. Menjadi bahan utama dalam pemebentukan hukum nasional dengan membuang segi-segi negatifnya dan disesuaikan dengan sistem hukum modern.




Hukum adat yang merupakan intisari kebudayaan masyarakat Indonesia yang antara lain bersifat komunalitas (gotong royong) harus menjadi bahan utama dalam pembentukan hukum nasional Indonesia, agar sifat dan kepribadian yang positif dan mulia tersebut tidak hilang.










Ruang lingkup hukum adat di kabupaten Belu







Hukum adalah sistem penting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasan kelembagaan. Hukum dapat diartikan juga sebagai aturan–aturan perilaku yang dapat diberlakukan atau diterapkan untuk mengatur hubungan–hubungan antar manusia dengan manusia maupun antar manusia dengan masyarakat.




Tujuan diadakannya suatu hukum yaitu:

a. Kepastian hukum

b. Keadilan

c. Tata tertib

d. Suasana damai

e. Aman

f. Sejahtera

g. Keadilan sosial




Dilihat dari waktunya hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu

1. Ius Constitutum (hukum pasti)

2. Ius Contituendum (hukum tidak pasti)




Sedangkan dilihat dari bentuknya hukum dibedakan menjadi 2 yaitu

1. Hukum tertulis

2. Hukum tidak tertulis




Secara adat-istiadat dan kebudayaan, Kabupaten Belu merupakan masyarakat adat Timor, yang hidup dalam empat kelompok suku-bangsa dan bahasa. Penduduk Kabupaten Belu, kebanyakan Orang Tetun.




1. Orang Tetun yang berkonsentrasi di sebagian besar Tasifeto, sebagian besar Malaka dan sebagian besar Kobalima.




2. Orang Marae atau Bunak yang berkonsentrasi di hampir seluruh wilayah Lamaknen serta beberapa perkampungan lain di Tasifeto, Malaka dan Kobalima.




3. Orang Kemak yang berkonsentrasi di Sadi, dan beberapa perkampungan lainl di Tasifeto




4. Orang Dawan R yang berkonsentrasi di Manlea dan Biudukfoho, wilayah Malaka.






















Sejarah hukum adat di kabupaten Belu




Sejarah singkat kabupaten Belu










Arti "istilah Belu dan semboyan Masyarakat Belu"istilah Belu dalam bahasa Tetun berarti sahabat atau teman. Berdasarkan arti ini, maka persaudaraan sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan bersama. Persaudaraan di antara orang-orang Belu menjadi landasan dalam mewujudkan cita-cita untuk membangun Rai Belu tanah Belu

A. Gambaran Umum Masyarakat Belu

Ditinjau dari segi Budaya dan Antropologis, penduduk Kabupaten Belu dalam susunan masyarakatnya terbagi atas 4 sub etnik yang besar yaitu : Ema Tetun, Ema Kemak, dan Ema dawan Manlea. Keempat sub etnik mendiami lokasi – lokasidengan karerkteristik tertentu dengan kekhasan penduduk bermayoritas penganut agama Kristen Katolik. Masing –masing etnik tersebut mempunyai bahasa dan praktek budaya yang saling berbeda satu sama lain dan kesamaan dilain segi. Kendati demikian masyarakat Belu dapat dengan mudah hidup rukun dikarenakan aspek kesamaan – kesamaan spesifik. Mata Pencaharian utama adalah bertani yang masih dikerjakan secara ekstensif tradisional.

Dari aspek ekologis, kondisi tanah Belu sangat subur karena selain memiliki lapisan tanah jenis berpasir dan hitam juga dikondisikan dengan curah hujan yang relative merata sepanjang tahun. Daerah Belu yang subur tersebut membuatnya potensial untuk dikembangkan menjadi daerah peternakan dan pertanian. Sub sektor perikanan dengan kawasan pantai yang membentang dari Belu bagian selatan sampai utara turut mempengaruhi pemerataan pekerjaan dan pendapatan. Selain itu dari sub sektor kehutanan kontribusi yang diperoleh juga signifikan dengan beberapa jenis pohon produktif seperti cendana, eukaliptus, kayu merah dan jati. Dari sektor dan sub sektor lainnya seperti perdagangan dan jasa,

industri dan lainnya juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan PDRB dan peningkatan PAD.




Sejarah Singkat Orang Belu







Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah di Belu, manusia Belu pertama yang mendiami wilayah Belu adalah “Suku Melus”. Orang Melus di kenal dengan sebutan “Emafatuk oan ai oan”, (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain para pendatang, yang menghuni

Belu sebenarnya berasal dari “Sina Mutin Malaka”. Malaka sebagai tanah asal – usul pendatang di Belu yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka. Khusus untuk para pendatang baru yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.

Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing – masing daerah berlainan. Dari makoan Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah ; Wehali Nain, Wewiku Nai dan Haitimuk Naik.

Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan.

Sedangkan dari semua pendatang di Belu itu pimpinan dipegang oleh “Maromak Oan” Liurai Nain di Belu bagian Selatan. Bahkan menurut para peneliti asing Maromak Oan kekuasaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di belu, maromak Oan memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Fatuaruin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Maromak Oan sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali. Para pendatang di belu tersebut, tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana yang terjadi

sekarang. Menurut para sejarahwan, pembagian Belu menjadi Belu bagian Selatan dan Utara hanyalah merupakan strategi pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah sistem pengontrolan terhadap masyarakatnya. Dalam keadaan pemerintahan adapt tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja – raja dengan apa yang disebutnya “Zaman

Keemasan Kerajaan”. Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Belu). Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang berkuasa di daerah Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan Dubay sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya. Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-

Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh Belu sebagai Loro dan Liurai.Tercatat nama – nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain,Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.

Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As Tanara membawahi dasi sanulu yang dikenal sampai sekarang ini yaitu Lasiolat, Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sobau,LIdak, Tohe Manumutin, dan Aitoon. Dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sarabau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal – usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.




Susunan Strafikasi Masyarakat Belu










Membahas tentang struktur masyarakat tidak lain dari pada mengulas tentang tingkatan – tingkatan dalam masyarakat yang ada dalam.yang ada dalam suatu komunitas atau persekutuan tertentu. Yang tersusun dalam susunan atau lapisan– lapisan dalam masyarakat yang disebut stratifikasi sosial. Pembagian dan pembedaan masyarakat Belu dalam kelas –

kelas hirarkis di bawah ini di dasarkan pada turunan/ras yang yang ada sejak penduduk para pendatang sampai dengan

kejayaan zaman kerajaan.




Menurut H.J. Grijzen seperti dikutip dalam tulisan Rm. Florens Maxi Un Bria dalam




“ The Way To Happiness Of Belu People” bahwa masyarakat Belu mengenal klasifikasi masyarakatnya atas 3 (tiga) golongan, yang secara hirarkis terdiri

dari :













- Dasi atau golongan bangsawan yang menempati lapisan terpusat dan dari kelompok inilah terpilih Loro / Liurai / Na’I yang akan memangku jabatan kepemerintahan secara turun temurun.




- Renu yang tidak lain adalah rakyat jelata yang merdeka




- Ata atau klason yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan renu atau golongan dasi. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu – Atapupu) sampai

pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkann “Pax Nederlandica” sehingga perdagangan budak dihapus.




Pembagian masyarakat Belu sendiri ditinjau dari segi ekonomis terdiri dari klasifikasi “orang berpunya/the haves” (Ema Mak Soin) dan kelompok “orang miskin/the haves not”




(Ema Kmukit). Ukuran untuk menentukan dua macam kelas ini tergantung pada pendapatan yang ia peroleh dan cara atau pola hidupnya setiap hari. Dari sudut politik pemerintahan

nasional, kita mengetahui bahwa penggolongan masyarakat Jawa atas tiga golongan / tiga kelompok besar yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Dalam keterkaitannya dengan struktur masyarakat Belu maka kita mengenal beberapa kelompok/golongan masyarakat yang terdiri dari:




- Pertama adalah kelompok teratas atau kelompok raja (Nain Oan) masuk kelompok priyayi.




- Kelompok lain adalah kelompok masyarakat bawah (Hutun Renu) atau marjinal dan orang kecil.




- Antara dua kelompok itu ada kelompok penengah atau disebut Fukun dato.




Keterkaitan antara ketiga kelompok utama tersebut terwujud dalam realisasi program dan kerja nyata. Dalam hal ini, kelompok Raja berperan mengawasi pelaksanaan pembangunan dan membuat putusan pemerintahan. Kelompok Hutun Renu sebagai mediator antara kedua kelompok tersebut. Perlu dicatat di sini bahwa dalam proses pengambilan

keputusan (fui mutu lian-fui mtun ibun) secara adapt dengan korban bakaran.




Perlu ditambahkan disini bahwa dalam jajaran dan tataran kelompok penurutan raja atau kerabatan horizontal yang dinamakan “klaken soman” ada juga kelompok vertikal yang disebut “Tohu Larus Hudi Oan”. Dalam catatan sejarah lokal, menuturkan bahwa di kerajaan Wewiku – Wehali ada 4 dato yang sangat berperan dalam fungsinya sebagai mediator

yaitu, Dato Leki Nahak Tamiru Usi Hawai Lerek (penguasa daerah pesisir laut) atau yang disebut Meti Ketuik. Dato Klisuk Rae dan Klisuk Lor yang menguasai daerah enclave laut (hasan). Sedangkan Dato Mota menguasai daerah pesisir kali Benenai




(Mota Ninin Here Ninin). Sehingga sesekali dalam kurun waktu tertentu seorang Dato wajib membawahi upeti kepada rajanya.










Belu merupakan salah satu dari 21 kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Letaknya di Pulau Timor. Luas Kabupaten Belu adalah 2.445,57 Km2. Pada sensus penduduk tahun 2010 ini, tercatat, penduduk Kabupaten Belu adalah sebanyak 352.400 jiwa. Penduduk Kabupaten Belu adalah yang terbesar nomor dua, sesudah penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ibukota Kabupaten Belu adalah Atambua. Atambua merupakan kota terbesar kedua di Pulau Timor, sesudah Kupang. Penduduk Kota Atambua tercatat sekitar 75,000 jiwa.




Secara adat-istiadat dan kebudayaan, Kabupaten Belu merupakan masyarakat adat Timor, yang hidup dalam empat kelompok suku-bangsa dan bahasa. Penduduk Kabupaten Belu, kebanyakan Orang Tetun. Selain Orang Tetun yang berkonsentrasi di sebagian besar Tasifeto, sebagian besar Malaka dan sebagian besar Kobalima; terdapat juga Orang Marae atau Bunak yang berkonsentrasi di hampir seluruh wilayah Lamaknen serta beberapa perkampungan lain di Tasifeto, Malaka dan Kobalima; Orang Kemak yang berkonsentrasi di Sadi, dan bberapa perkampungan lainl di Tasifeto serta Orang Dawan R yang berkonsentrasi di Manlea dan Biudukfoho, wilayah Malaka. Umumnya penduduk Kabupaten Belu, berasal dari ras Melayu Tua (Proto-Melayu), ras yang diyakini lebih tua dan lebih awal mendiami Pulau Timor. Selain Ras Melayu Tua, terdapat juga ras Melayu Muda (Deutero-Melayu) dan Asia (Cina). Baik ras Proto Melayu, Deutero Melayu dan Asia, telah berbaur dan telah terikat dalam sistem kawin-mawin, sejak beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun silam. Di Kota Atambua, juga beberapa kota kecil seperti Atapupu, Halilulik, Betun, terdapat juga sejumlah kecil penduduk yang berasal dari luar Kabupaten Belu, entah dari Pulau Timor sendiri, atau pun dari luar Pulau Timor.




Hukum Adat Pernikahan Patrilinear dan Matrilinear di Kabupaten Belu




Mengenal Perkawinan Patrilinear di Kabupaten Belu.










Belu Utara Ada tiga jenis perkawinan yang pada umumnya diharamkan oleh masyarakat Belu, baik pada masyarakat matrilineal maupun patrilineal antara lain sebagai berikut:










1. Feton oan, yaitu perkawinan antara saudara sekandung. Jika terjadi maka ungkapannya: asu matan at (anjing buta matanya).










2. Oan susun, yaitu perkawinan antar ayah dengan anak kandungnya. Jika terjadi pelanggaran tersebut, maka diistilahkan asu na nikar oan, manu nemu nikar tolun (anjing memakan kembali anaknya, ayam meminum kembali telurnya)










3. Oan no inan, yaitu perkawinan antara anak laki-laki dengan ibunya. Jika terjadi pelanggaran, maka perbuatannya dikatan asu sae tetu, asu nador kaok (anjing menaiki loteng, mengotori sarang).
















Apabila terjadi perkawinan incest maka akan dihukum dengan hukuman yang keras yaitu pria dan wanita dipaksa untuk mengisap usus babi (fahi ten), serta dikucilkan dari suku




(lelen sai). Perkawinan yang dibenarkan dalam adat perkawinan Belu, antara lain sebagai berikut,




1. Anak saudara dikawinkan dengan anak saudari (nan niti hein feto)..




2. Anak mengawini bekas istri pamannaya (oan nola nikar nian kii baki)




3. Paman mengawini kembali bekas istri keponakannya (baba nola nikar nian uma nain uma ruin)




”Model perkawinan ini semakin ditinggalkan seiring dengan perkembangan zaman yang




menganggap bahwa model perkawinan tersebut tidak baik.”




Ada dua macam sistem perkawinan adat yang dianut oleh masyarakat Belu, yakni system




perkawinan patrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ayah), dan sistem matrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan ibu). Sistem perkawinan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sitem perkawinan Patrilineal dan Matrilinear.










Sistem Perkawinan Patrilineal Bentuk perkawinan ini bertujuan untuk menegakkan kembali tombak dan kelewang agar bisa membeli putus istri. Hal ini berarti istri masuk dalam keluarga lelaki atau suami. Di sini terlihat bahwa kedudukan wanita sangat tinggi derajatnya karena wanita sesudah kawin dianggap sebagai uma nain atau wanita tuan rumah. Keunikan dari perkawinan patrilineal adalah membayar mahar kawin atau belis sebanyak 24 jenis dengan rincian meliputi uang perak, uang emas, selimut tenun ikat dan sulam, hewan besar, bahkan sampai tanah. Berhubung martabat wanita begitu besar maka pihak keluarga atau klan penerima gadis harus bergotong royong untuk membeli putus gadis tersebut. Mahar kawin atau belis tersebut menjadi penentu derajat sang suami menjadi lebih tinggi apabila dipenuhi. Perkawinan patrilineal mempunyai beberapa akibat yaitu sebagai berikut:




1. Istri menerima suku suami dan dihormati sebagai wanita utama dalam suku deu gomo dan suaminya momen mone (lelaki tua)




2. Sang suami mempunyai hak terhadap istri dan anak-anaknya.




3. Anak-anak masuk anggota suku ayah.




4. Hubungan malu ai bersifat abadi




5. Poligami tidak diizinkan, demikian pula tidak ada perceraian




6. Berzinah dihukum dengan potong kepala










Tahap Sistem Perkawinan Patrilineal Daerah Belu Adapun tahap-tahap yang harus dilewati oleh seorang pemuda dan seorang pemudi menjelang upacara perkawinan adalah sebagai berikut :




1. Ba’boe










(Masa Pacaran) merupakan kesempatan untuk saling mengenal satu sama lain. Membuka diri untuk menerima segala masukan sebagai persiapan dalam memasuki masa yang akan datang.










2. Lolo leten (Tahap pengenalan secara akrab)










Pada tahap ini, pihak keluarga dari kedua insan pun dilibatkan karena ditahap ini, pasangan muda-mudi akan memutuskan sebuah kesepakatan penting dalam rangka perkawinan nanti.




Perlengkapan yang harus disiapkan oleh si pria pada tahap ini adalah fuik (sirih) dan bu’a




(pinang). Acara ini dilakukan hanya pada malam hari. Caranya ialah si pria harus ke rumah si gadis dan menyodorkan sirih pinang yang dibawanya melalui pintu depan rumah bagian atas dalam keadaan terkunci. Keduanya hanya boleh berkomunikasi tanpa bertatapan langsung










3. Antara mata dengan mata. Labu feto (Pelamaran)










Setelah mencapai kata sepakat bahwa kedua pihak setuju untuk melangsungkan perkawinan, maka tahap berikutnya ialah si pria harus melamar si gadis dengan resmi. Tahap ini dilakukan dengan cara, yaitu dengan aikalete (jembatan) dan tanpa aikalete. Aikalete bertugas sebagai penghubung antara kedua belah pihak. Perlengkapan yang harus dibawa adalah berupa siri pinang dan terkadang dibawa pula emas (kalung, anting, gelang dsb).










4. Tara horak (Tukar cincin)




Tahap ini dikenal dengan fuik tahak-bua tahak atau fuik husu-bua husu, yaitu persiapan meminang. Peminangan itu sendiri dapat berakhir dengan tara horak (tukar cincin). Sang pemuda dan keluarga membawa siri pinang, uang perak, cincin emas satu pasang, dan benang sesuai adat kebiasaan, sedangkan keluarga perempuan menyiapkan kain sarung adat dan lain sebagainya.










5. Tahap pertunangan (Jodoh)










Pada tahap ini, si pria dan si gadis tidak diperkenankan untuk berpacaran dengan pasangan lain sebab keduanya telah diikat dengan cinta sejati yang akan disatukan pada puncak perkawinan nanti. Bahkan lebih dari itu, si gadis akan dikurung untuk tidak boleh keluar rumah kecuali mendapat persetujuan khusus dari orang tua.










6. Ha lia (puncak perkawinan = pesta adat meriah)










Puncak dari semua tahap yang dilewati berakhir dengan upacara perkawinan




(pesta adat meriah) di rumah si gadis. Keluarga dari kedua pihak akan hadir semuanya untuk menyaksikan awal kehidupan keluarga baru ini dengan memberikan saran dan pengetahuan tertentu yang dikenal




dengan istilah sadan umakain. Tua-tua adat dari kedua belah pihak akan berkumpul di suatu labis (tempat duduk) untuk memberikan nasihat kepada pengantin baru yang akan memulai hidup baru. Nasihat-nasihat itu menjadi bekal dan modal utama dalam mengarungi bahtera hidup.










7. Tahap pemindahan wanita ke keluarga laki-laki.










Pada tahap ini keluarga lelaki datang menjemput mempelai wanita. Biasanya ada pihak keluargawanita yang ikut mengantar ke rumah lelaki. Maksud dan tujuan adat perkawinan di Belu Maksud dan tujuan adat perkawinan di Belu digolongkan menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut:










1. maksud dan tujuan tahap adat perkawinan di suku Marae dan suku Kemak di Belu Utara adalah:




a) perkawinan patrilineal merupakan perkawinan yang dikenal di Belu Utara yang bertujuan untuk menegakkan kembali tombak dan kelewang supaya dapat membeli putus istri. Dengan demikian istri dimasukan dalam klan suami.




b) Mempererat hubungan antara klan pemberi wanita dan klan penerima wanita.




c) Untuk mendapat keturunan yang akan menjadi ahli waris dalam keluarga lelaki.




d) Agar tradisi adat perkawinan yang berlaku dipertahankan keberadaannya.




e) Agar setiap perkawinan tidak menyimpang dari ketentuan adat yang berlaku f) Setiap tahapan adat perkawinan yang luhur itu dihargai dan dihormati secara turun-temurun.










2. Maksud dan tujuan tahapan perkawinan adat suku Tetun dan Buna di Malaka (Belu Selatan), yaitu sebagai berikut




a) agar setiap pemuda yang hendak kawin dapat membayar mahar kawin atau belis sesuai ketentuan adat (khusus untuk suku Buna)




b) agar tradisi adat perkawinan yang berlaku dapat dipertahankan secara turun-temurun




c) agar setiap perkawinan tidak menyimpang dari ketentuan adat yang berlaku




d) agar perkawinan itu berdampak positif dan dihargai oleh masyarakat




e) sebagai ungkapan resmi yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali kedua belah pihak itu sendiri.










Peralatan, Perlengkapan, Aturan dan Tata Tertib










1. Peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan dalam adat perkawinan menurut sistem patrilineal yaitu sebagai berikut: mahar kawin sebanyak




jenis dengan perincian:




a. uang perak




b. uang emas




c. selimut tenun ikat dan sulam




d. alat-alat mainan bahkan sampai kebun




e. hamba bagi golongan atas










Jenis mahar kawin tersebut adalah:




2. Sigal saen hotel nor sigal saen, membayar uang tunangan;




3. Borapit Jewen, membentang tikar untuk tamu yang datang;




4. Tagu turing, memelihara istri atau memberi makan;




5. Bei gotin, mohon doa restu leluhur;




6. Mapo tesi watan lotung, membayar kelelahan ayah;




7. Bokan no Nalas, membayar kelelahan ibu;




8. Gubul o Geweel, ganti rugi si gadis;




9. Sumamal, su soat, pemeliharaan gadis dari kecil sampai besar;




10. Lor wa lor wul perpisahan dengan suku atau marga;




11. Tajung lor, tajung hoto, perpisahan rumah suku;




12. Sul o Suliq, perpisahan dengan senjata keramat;






















Perkawinan Matriliner










Pada ummnya proses perkawinan di mulai dengan cara-cara yang sama seperti berikut berikut:




1. Masa Pertemuan










Perkenalan dan pertemuan ini berlangsung dan terjadi pada perjumpaan di pesta-pesta, di pasar atau di tempat yang ramai Dalam bahasa adatnya (“kdahur no klibar”). Dimana seorang pria dapat bertemu dengan seorang wanita dan saling memberikan teguran atau sapaan atau mengakrabkan diri, sehingga disinilah tercipta rasa saling cerita mencintai antara kedua insan ini, yaitu si pria dan si wanita.










Untuk mempertebal atau mempererat rasa cinta tersebut dari pihak pria maka pria tersebut mengadakan suatu pemberian yang dibelinya di tempat pertemuan tersebut berupa sirih pinang dan lain sebagainya. Pertemuan ini tidak diketahui oleh kedua orang tua karena hanya sesaat saja.










2. Proses perkenalan pertama




Proses perkenalan (Halimak) dapat di tempuh dengan cara Halimak (perkenalan) dengan Penghubung (Aikalete). Dimana sebelumnya sang pria terlebih dahulu mencari seorang keluarganya yang juga masih berfamili atau bertetangga dengan si wanita untuk dijadikan sebagai pengantara yang diistilahkan dalam bahasa adatnya yaitu “Aikalete” guna membawa atau menyampaikan bahwa kunjungan pria kepada si wanita.




Hal ini menunjukkan bahwa si pria ingin berkunjung ke rumah si wanita harus melalui pengantara (Aikalete) itu. Pada saat pertemuan ini berlangsung dalam keadaan terbuka artinya pintu di buka dan lampu dinyalahkan karena hal itu diketahui oleh orang tua dari si wanita. pertemuan ini langsung untuk mempererat hubungan cinta antara kedua insan yang waktu kemarin terjadi pertemuan di pasar atau di hari raya kemarin. Dan dapat di buktikan dengan pemakaian suatu alat berupa tempat tembakau (kabasa kmurak) atau berupa pakaian.




Dalam masa perkenalan ini masih di tempuh dengan saling membalas pantun antara seorang pria dan wanita sehingga si pria dapat mengetahui secara jelas apakah wanita itu mau menerima sebagai kekasihnya atau tidak




Dan dalam masa perkenalan (hamimak) itu, pada saat sang pria dating membawah sirih pinang 5 atau 10 ikat, alat penyuguh kabir (tempat sirih pinang bagi laki-laki) berisi sirih pinang itu. Sungguhan ini melambangkan di mulainya pembicaraan.




3. Proses perkenalan kedua (LOLOLETEN)










Khususnya yang lololeten hanimak ( perkenalan tanpa perhubung / aikalete). Dimana pada malam hari / tengah malam sang pria langsung pergi ke rumah sang wanita dengan menunggang kuda, dan melakukan pembicaraan antara dia (pria) dengan sang wanita dan pembicaraan itu dilakukan di serambi samping rumah (melalui celah-celah pintu rumah adat )




Pertemuan dan pembicaraan mereka terjadi pada malam hari dan keadaan gelap (lampu tidk dinyalahkan) serta pintu dalam keadaan tertutup dan pria hanya berada di luar pintu rumah. Jadi sang pria hanya bias mendengar suara sang wanita dari luar (tidak bias melihat langsung wajah sang wanita) dan sebaliknya sang wanita hanya bias mendengar suara sang pria dari dalam kamar (tidak dapat melihat langsung wajah sang pria).




Pertemuan ini juga dapat dilakukan untuk mempererat hubungan tali cinta kedua insane untuk melangkah ketahap berikutnya. Dan ketika pada malam itu tidak ada kesepakatan di antara kedua insane tersebut, maka si pria dapat memilih wanita lain pada malam berikutnya. Namun jika sebaliknya berhasil ada kesepakatan maka pembicaraan diteruskan untuk perencanaan perkawinan. Yang melalui tahap-tahap yaitu :










a. Tahap kunjungan










Setelah beberapa waktu sang pria kembali berkunjung ke rumah sang wanita, dengan terlebih dahulu memberikan lewat pengantara atau aikalete untuk menyampaikan berita tersebut kepihak sang wanita. Saat sang pria berkunjung ke rumah sang wanita membawa serta daun sirih dalam jumlah yang banyak paling kurang 20 ikat atau lebih daun sirih tersebut kemudian dibagikan kepada sanak keluarga sang wanita bahwa seorang laki-laki bertemu atau berkunjung dengan suatu maksud yaitu hendak menyatukan diri dengan anak perempuan kita. Kunjungan ini sudah diatur sendiri oleh sang pria pada saat pertepatan dengan panen hasil kebun/sawah sehinga kunjungan ini dalam waktuyang cukup lama.mengingat kunjungan ini lama maka keluarga wanita mengirim barang berupa besar kue,kepada orang tua laki- laki melalui aikalete (penghubung atau pengantara tadi). Kemudian tempat yang tadi berisi barang-barang tadi dikembalikan dari keluarga pria melalui aikalete atau penghubung itu dengan mengisi daun sirih, pinang, benang dan lain-lain.




Setelah kedua belah pihak saling membalas antara satu sama lain, namun balasan tersebut belum dikatakan kedua insan sudah menyatu atau bertunangan, hal ini masih dikatakan pergaulan muda – mudi (berpacaran). Dan apabila ada kesempatan maka pembicaraan diteruskan untuk perencanaan perkawinan melalui tahap berikutnya.










b. Tahap peminangan (Pertunangan)










Menjelang beberapa waktu keluarga wanita merasa bahwa knjungan sang pria ini cukup lama an betul-betul ingin serius dengan anak-anak mereka, maka pihak keluarga wanita mengirim barang-barang berupa beras, daging ayam, kue dan lain-lain; lewat pengantara atau aikalete dalam bentuk banyak kepada keluarga pria untuk mengetahui bahwa keluarga pria menyetujui atau menerima anak mereka menjadi tunangan dari pria itu atau tidak. Dan setelah pihak dari keluarga pria menerima barang-barang tersebut, Apabila menyetujuinya maka barang-barang itu akan dibagikan semua kepada keluarga pria supaya keluarga dari pihak pria dapat mengetahui bahwa anak kita sudah pergi dan menyatuhkan diri (tunangan) dengan wanita di kampong sebelah. Namun jika keluarga dari pihak laki-laki tidak menerima sang waita sebagai calon tunangan maka barang-barang itu akan dikembalikan dengan utuh kepada pihak keluarga wanita dalam bahasa adatnya “Hahoran” dan pada saat itu juga pihak dari keluarga wanita menyuruh pulang sang pria kembali kerumahnya (orang tuanya) karena orang tua tdk menyetujui hubungan ini berlanjut (dibatalkan).Dan apabila disetujui oleh pihak laki-laki maka akan lanjutkan (pembicaraan) akan tetap dilanjutkan ke “peminangan”




Hal ini dari keluarga laki-laki menyediahkan beberapa ikat sirih daun, pinang dan menyerahkan kepada keluarga wanita dan mendambahkan bahwa kedua insan sudah bertunangan sehingga kedua insan tersebut tidak boleh berpacaran lagi, sekaligus menyilahkan bahwa rumah dari keluarga wanita itu milik dari laki-laki juga.




c. Pengiriman barang










Pada saat inilah pengiriman barang akan berlangsung secara berulang-ulang dan saling membalas berulang-ulang antara kedua belah pihak; kurang lebih 2 atau 3x sebelum pada acara yang sebenarnya. Dan pengiriman barang itu akan bertambah banyak dari yang sebelumnya di mana pihak dari sang wanita mengirim barang berupa beras, kue, daging dan lai-lain. Pengiriman ini akan bertambah banyak Karena apabila pada pengiriman pertama tadi pihak dari wanita hnya mengirim dengan jumlah yang sedikit (bias hanya 5 atau 6 tempat saja yang di isi barang-barang tadi). Namun ketika pihak keluarga pria menerimanya, langsung membagikan barang-barang tadi kepada keluarganya dan mereka mengembalikan tempat-tempat yang tadinya kepada keluarga mereka terima dari pihak wanita dengan mengisi kembali sirih daun, pinang, benang, hand bady dan lain-lain; dengan menambah tempat lagi dari milik mereka sendiri supaya bertambah banyak lagi. Dan sebaliknya pada saat keluarga dari pihak wanita kembali menerima tempat-tempat yang berisi sirih,pinang, hand bady, benang dan lain-lain dari pihak laki-laki dan langsung dibagikan kembali ke pihak keluarga wanita supaya pada hari yang telah dijanjikan barang-barang tersebut akan segera dikembalikan ke pihak sebelah. Pengiriman barang-barang tersebut, harus melalui seorang pengantara “aikalete” Namun sebelum pengiriman barang itu ke pihak sebelah, sebelum itu harus ada berita dari pengantara kepada keluarga pria sehingga keluarga pria menunggu pengiriman tersebut. Setiap pengiriman dari pihak permpuan berupa beras, kue, daging, dan lain-lain. Dan di terima oleh pihak pria maka akan dib alas dengan sirih daun, pinang, benang, sabun mandi, hand bady dll. Pengertian benang di sini diistilahkan (dilambang) bahwa gadis tersebut pintar menenun kain adat (daerah) pengiriman barang itu akan segera berakhir lewat seorang pengantara menyampaikan berita dari pihak wanita bahwa pengiriman barang segera dihentikan untuk pembicaraan ke tahap pernikahan.










d. Tahap Perkawinan Adat










Telah ditinggalkan oleh para leluhur untuk generasi-generasi berikutnya yang merupakan kebiasaan yang hingga sekarang masih dilakukan atau dijalankan di Belu Selatan yaitu perkawinan adat merupakan kebudayaan di mana di antar oleh pihak keluarga pria kepada wanita. Yang menjadi inti pada tahap ini adalah sirih daun di susun rapih pada satu tempat sirih dalam dua lapis, kemudian diatasnya diletakan satu rupiah, uang perak, pinang kering pada satu tempat sirih yang tadi kain putih satu meter dan besi ver (parang) 1 buah kemudian di ikat rapi dengan benang.




Hal ini menunjukkan bahwa pihak keluarga laki-laki dengan resmi menyerahkan laki-laki kepada pihak keluarga wanita, sebaliknya dari pihak keluarga wanita dengan resmi menerima si laki-laki dan mulai dibentukan suatu keluarga baru secara adat sebagai balasan dari keluarga wanita, pada malam itu juga atau dimana peserta pernikahan dilaksanakan keluarga wanita mengirim beras, seekor babi, ayam, dll lewat pengantara kerumah laki-laki itu (kepeda orang tuanya) yang diistilahkan dalam bahasa adatnya “Etu Bei Bani”.




Dan tahap ini perlu diketahui bahwa pesta pernikahan dilangsung oleh kedua belah pihak. Dan setelah selesai pesta yang di lakukan di rumah wanita yaitu keluarga dari sang wanita manghadirkan sarung atau selimut yang paling berharga kepada keluarga laki-laki sebagai lambang kehormatan. Hal ini dilakukan karena sang pemuda meninggalkan kian atau keluarganya dan masuk keluarga atau kian istri. Belis tidak ada, hal ini berati semua hak dalam keluarga di tangan sang istri. Dan kalau mengenai status anak-anak nanti setelah salah satu pasangan suami istri tersebut meninggal dunia. Di malaka lasimnya salah seorang meninggal dunia maka salah satu anak wanita diserahkan ke keluarga lelaki sebagai pengganti bapaknya (matamusan). Matamusan itu sendiri akan menggunakan kian suku ayahnya (nama suku ayahnya) kalau ada pria yang mengawininya system menunjukan bahwa adanya sikap terbuka supaya bagaimana pun juga kian ayah tidak boleh hilang sama sekali akibat perkawinan sebelumnya.




Atas dasar dan uraian di atas, maka yang menjadi pokok ini adalah bagaimana jalannya upacara adat kabupaten Belu (khususnya di malaka atau Belu Selatan).




Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, ternyata benar bahwa manusia dan kebudayaan pada dasarnya berhubungan secara dialektis. Kebudayaan merupakan unsur konstitutif dari esensi manusia. Kebudayaan adalah hasil usaha manusia yang membantu manusia dalam berinteraksi. Dengan kata lain, segala tingkah laku manusia dibentuk oleh kebudayaan. Kebudayaan memberi kepada manusia suatu struktur yang kuat.




Dan segala bentuk aturan yang ditetapkan dalam sebuah sistem perkawinan baik itu sistem Patrilinear maupun sistem Matrilinear itu merupakan penegak martab manusia dalam sebuah interaksi sosial kedepannya.




Penulis




( YUVENTUS MAO)





Halaman